
Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja yang kembali memanas sejak Juli 2025 telah memicu krisis kemanusiaan serius dan menimbulkan kekhawatiran geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Pertempuran yang berpusat di wilayah perbatasan, terutama di sekitar kuil kuno Preah Vihear, telah menyebabkan korban jiwa berjatuhan, pengungsian massal, serta kerusakan infrastruktur dan situs warisan dunia. Situasi mencekam ini memaksa komunitas internasional, termasuk Indonesia sebagai anggota ASEAN, untuk menyerukan deeskalasi dan penyelesaian damai.
Akar konflik antara Thailand dan Kamboja telah membentang selama berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak era kolonial Prancis. Perselisihan utama berpusat pada klaim kepemilikan atas wilayah perbatasan yang kaya sumber daya alam dan, yang paling menonjol, status Kuil Preah Vihear. Kuil Hindu kuno abad ke-11 ini, yang terletak di puncak tebing menghadap Kamboja, telah menjadi titik sengketa utama sejak lama. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa kuil tersebut berada di wilayah Kamboja, namun sebagian besar wilayah di sekitarnya tetap menjadi klaim tumpang tindih oleh kedua negara. Keputusan ICJ ini hanya menyelesaikan status kuil itu sendiri, bukan batas-batas wilayah di sekitarnya, sehingga menyisakan "zona abu-abu" yang rawan konflik.
Eskalasi terbaru pada Juli 2025 dipicu oleh berbagai insiden, termasuk penangkapan warga negara Thailand oleh pasukan Kamboja di wilayah sengketa, pengerahan pasukan tambahan, serta provokasi verbal dari kedua belah pihak. Situasi memanas dengan cepat menjadi baku tembak artileri dan pertempuran darat di beberapa titik perbatasan, termasuk di Provinsi Surin dan Buri Ram di Thailand serta Provinsi Oddar Meanchey dan Preah Vihear di Kamboja. Laporan menunjukkan adanya penggunaan roket dan artileri berat, bahkan tank dan pesawat tempur dikerahkan, menandakan intensitas konflik yang tinggi.
Dampak paling tragis dari pertempuran ini adalah jatuhnya korban jiwa dan luka-luka. Data terbaru menunjukkan bahwa sedikitnya 14 orang telah tewas, termasuk warga sipil dan personel militer dari kedua belah pihak. Korban luka-luka juga terus bertambah. Selain itu, lebih dari 100.000 warga di wilayah perbatasan terpaksa mengungsi dari rumah mereka untuk mencari perlindungan. Mereka kini hidup dalam kondisi serba terbatas di kamp-kamp pengungsian darurat, menghadapi tantangan akses makanan, air bersih, dan fasilitas kesehatan. PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya telah menyuarakan keprihatinan mendalam atas krisis kemanusiaan yang berkembang ini.
Selain korban jiwa dan pengungsian, konflik ini juga menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur dan situs budaya. Kuil Preah Vihear, yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO, dilaporkan mengalami kerusakan akibat serangan artileri. Kerusakan pada situs bersejarah ini tidak hanya menjadi kerugian budaya bagi kedua negara, tetapi juga bagi warisan dunia. Rumah-rumah penduduk, fasilitas umum, dan lahan pertanian di sepanjang perbatasan juga mengalami kerusakan parah, menambah penderitaan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Respon internasional terhadap konflik ini cukup beragam. Sebagian besar negara menyerukan dialog dan deeskalasi. Indonesia, sebagai Ketua ASEAN, telah menunjukkan komitmen kuat untuk membantu menyelesaikan konflik secara damai. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menyatakan keyakinannya bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui mekanisme ASEAN dan dialog bilateral. Indonesia juga telah mengaktifkan Pusat Krisis ASEAN untuk memantau situasi dan mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan jika diperlukan. Upaya mediasi telah dilakukan, namun belum membuahkan hasil signifikan karena sikap Thailand yang menolak berunding selama pertempuran masih berlangsung. Thailand menegaskan bahwa mereka tidak akan bernegosiasi sampai Kamboja menarik pasukannya dari wilayah sengketa.
Meskipun situasi di perbatasan memanas, Kementerian Luar Negeri Indonesia memastikan bahwa tidak ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban dalam konflik ini. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok dan Phnom Penh terus memantau kondisi WNI yang tinggal atau bekerja di Thailand dan Kamboja, khususnya yang berada di dekat wilayah konflik. KBRI juga telah mengeluarkan imbauan perjalanan dan kesiapsiagaan bagi WNI di kedua negara.
Para analis geopolitik menilai bahwa konflik ini berpotensi mengganggu stabilitas regional jika tidak segera diatasi. Meskipun perang skala penuh mungkin tidak terjadi, bentrokan sporadis dan ketegangan yang terus-menerus dapat menghambat kerjasama ekonomi dan politik di ASEAN. Kedua negara merupakan anggota ASEAN, dan prinsip non-intervensi seringkali menjadi penghalang bagi campur tangan yang lebih langsung dari blok regional tersebut. Namun, krisis ini menunjukkan perlunya mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efektif di antara negara-negara anggota ASEAN.
Beberapa ahli juga mencatat bahwa konflik ini memiliki dimensi politik internal di kedua negara. Pemimpin di Thailand dan Kamboja seringkali menggunakan isu perbatasan dan nasionalisme untuk menggalang dukungan domestik. Ini membuat penyelesaian damai menjadi lebih rumit, karena setiap konsesi dapat dianggap sebagai kelemahan politik.
Melihat kembali sejarah konflik, perselisihan ini bukan hanya tentang sebidang tanah atau sebuah kuil, melainkan tentang kedaulatan, identitas nasional, dan interpretasi yang berbeda atas sejarah dan hukum internasional. Selama akar masalah ini tidak diselesaikan secara komprehensif dan permanen, potensi eskalasi akan selalu ada. Kamboja berpendapat bahwa Thailand telah melanggar kedaulatan mereka dengan menduduki wilayah yang diakui secara internasional sebagai milik Kamboja, sementara Thailand bersikeras bahwa mereka hanya mempertahankan wilayah mereka sendiri.
Baca Juga: OJK Perkuat Pelindungan Konsumen, Integrasikan Aspek Perlindungan Dalam Alur Bisnis PUJK
Untuk mencapai resolusi yang langgeng, diperlukan kemauan politik yang kuat dari kedua belah pihak untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif. Peran mediasi dari pihak ketiga yang netral, seperti Indonesia atau PBB, akan sangat krusial. Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat sipil dan pakar hukum internasional untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar menghentikan tembakan. Tanpa pendekatan komprehensif, krisis perbatasan Thailand-Kamboja akan terus menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja, mengancam stabilitas dan kesejahteraan di Asia Tenggara.